Budaya Sungkeman
kini hanya bisa ditemui dalam acara-acara tertentu saja. Seperti saat
pernikahan dengan adat jawa, atau ketika masa hari raya Idul Fitri tiba.
Di luar itu, sudah jarang orang yang mau menggunakan tradisi Sungkeman dalam rangkaian acara mereka. Selain dianggap tidak praktis, Sungkeman juga sudah kehilangan makna. Pada awalnya, Sungkeman disimbolkan sebagai wujud rasa hormat kepada orang tua.
Hal ini ditunjukkan dengan kepatuhan untuk melaksanakan sungkem. Jadi, sebenarnya Sungkeman adalah salah satu budaya jawa yang seharusnya dijaga kelestariannya. Sebab, dalam pelaksanaannya terdapat makna yang mendalam.
Akibat dari semakin memudarnya salah satu kebudayaan Jawa ini, semakin sedikit pula orang yang tahu tentang aturan melakukan Sungkeman. Tak jarang, Sungkeman dilakukan sebagai formalitas tanpa mengedepankan aturan yang benar. Hal ini khususnya terjadi di kalangan generasi muda.
Saya akan menjelaskan bagaimana aturan untuk melakukan Sungkem.
Aturan yang benar adalah, pihak yang lebih tua duduk dikursi. Dan orang-orang yang hendak melakukan Sungkeman
datang ke hadapan orang yang lebih tua (orang tua) tersebut. Lalu,
ambilah posisi bersimpuh di hadapan orang yang hendak di sungkemi
tersebut.
Rapatkan kedua telapak
tangan, dan ulurkan kepada orang tua. Setelah telapak tangan bertemu
dengan telapak tangan sang orang tua, lalu majukan badan anda, Telapak
tangan diposisikan diatas kening sementara kepala anda tertuju lurus
pada lutut orang yang anda sungkem. Setelah dirasa cukup, maka tarik
tangan anda dan mulai melangkah mundur tetap dalam posisi bersimpuh.
Kira-kira dua kali mundur barulah anda bisa berdiri untuk kemudian
berjalan normal.
Inilah yang menyebabkan budaya Sungkeman ini kurang begitu berkembang. Selain dianggap sulit dan tidak praktis, budaya Sungkeman juga dianggap sebagai cermin budaya feodal jaman kerajaan.